IRC Bandung, 1 April 2025– Apakah minuman diet yang Anda konsumsi justru membuat Anda merasa lebih lapar?
Sebuah penelitian terbaru dari Keck School of Medicine di Universitas Southern California (USC) mengungkapkan bahwa pemanis buatan seperti sucralose , yang sering digunakan dalam minuman rendah kalori, mungkin memicu aktivitas otak yang berkaitan dengan rasa lapar tanpa memberikan kepuasan yang biasanya diberikan oleh gula alami.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa efek tersebut lebih kuat pada individu dengan obesitas dan berbeda antara pria dan wanita.
Baca Juga: Buah dan Tanaman: Kekuatan Alami untuk Pencegahan Penyakit
Bagaimana Sucralose Memengaruhi Otak?
Studi yang diterbitkan dalam jurnal Nature Metabolism ini menemukan bahwa sucralose mengaktifkan hipotalamus—bagian otak yang bertanggung jawab mengatur nafsu makan dan berat badan—lebih kuat dibandingkan gula biasa (sucrose ).
Hipotalamus adalah pusat kendali biologis tubuh yang mengatur rasa lapar, metabolisme, dan keseimbangan energi. Ketika seseorang mengonsumsi sucralose , otak menerima sinyal manis tetapi tidak mendapatkan kalori yang diharapkan tubuh.
Akibatnya, otak “bingung” dan mungkin mengirimkan sinyal untuk makan lebih banyak sebagai kompensasi.
“Jika tubuh Anda mengharapkan kalori karena rasa manis tetapi tidak mendapatkannya, hal itu dapat mengubah cara otak diprogram untuk mendambakan zat-zat tersebut seiring waktu,” kata Dr. Kathleen Alanna Page, direktur USC Diabetes and Obesity Research Institute sekaligus pemimpin penelitian ini.
Selain itu, sucralose juga mengubah cara hipotalamus berkomunikasi dengan area otak lain yang terlibat dalam motivasi dan pengambilan keputusan, seperti korteks cingulat anterior.
Ini menunjukkan bahwa sucralose tidak hanya meningkatkan rasa lapar tetapi juga memengaruhi perilaku makan dan keinginan untuk mengonsumsi makanan tertentu.
Metode Penelitian dan Temuan Utama
Untuk menguji dampak sucralose pada otak dan tubuh, tim peneliti melakukan studi acak terhadap 75 partisipan yang mencakup pria dan wanita dengan variasi status berat badan (normal, kelebihan berat badan, atau obesitas).
Setiap peserta menjalani tiga sesi terpisah, di mana mereka mengonsumsi air putih, minuman manis dengan sucralose , atau minuman manis dengan gula biasa (sucrose ).
Setelah mengonsumsi minuman, peneliti melakukan pemindaian otak menggunakan fMRI, pengambilan sampel darah, dan penilaian tingkat rasa lapar.
Hasilnya menunjukkan beberapa temuan penting:
- Aktivitas Otak: Minuman dengan sucralose meningkatkan aktivitas hipotalamus dan rasa lapar, terutama pada individu dengan obesitas.
- Hormon Kenyang: Berbeda dengan gula, sucralose tidak meningkatkan kadar hormon seperti insulin dan GLP-1, yang biasanya memberi sinyal kenyang kepada otak.
- Perbedaan Gender: Efek sucralose lebih kuat pada wanita dibandingkan pria, menunjukkan bahwa pemanis buatan mungkin memengaruhi kedua jenis kelamin secara berbeda.
Mengapa Sucralose Membuat Otak Bingung?
Gula alami memberikan dua hal penting: rasa manis dan energi dalam bentuk kalori. Sebaliknya, sucralose hanya memberikan sensasi manis tanpa menyediakan kalori yang dibutuhkan tubuh.
Ketidaksesuaian ini dapat memicu respons otak yang mendorong seseorang untuk makan lebih banyak sebagai kompensasi.
“Tubuh menggunakan hormon-hormon tertentu untuk memberi tahu otak bahwa Anda telah mengonsumsi kalori guna mengurangi rasa lapar,” kata Dr. Page.
“Namun, sucralose tidak memiliki efek itu, dan perbedaan respons hormonal terhadap sucralose dibandingkan gula bahkan lebih jelas pada individu dengan obesitas.”
Dampak pada Anak-anak dan Remaja
Penelitian ini juga membuka pintu bagi pertanyaan baru tentang bagaimana pemanis buatan memengaruhi perkembangan otak anak-anak dan remaja.
Kelompok usia ini adalah konsumen utama gula dan pengganti gula, sehingga dampak jangka panjangnya bisa signifikan.
“Apakah zat-zat ini menyebabkan perubahan pada otak yang sedang berkembang, terutama pada anak-anak yang berisiko obesitas?” tanya Dr. Page. “Otak sangat rentan selama masa perkembangan, sehingga ini bisa menjadi kesempatan penting untuk intervensi.”
Tim peneliti saat ini sedang memulai studi lanjutan untuk melihat bagaimana pemanis rendah kalori memengaruhi otak anak-anak dan remaja.
Temuan ini dapat memberikan wawasan penting tentang hubungan antara pemanis buatan dan risiko obesitas pada generasi muda.
Jangan Lewatkan: Papaya dan Buah Markisa Tunjukkan Potensi Tak Terduga dalam Melawan Kanker
Kembali ke Pola Makan Alami
Meskipun pemanis rendah kalori sering digunakan untuk mengurangi asupan kalori atau gula, penelitian ini menunjukkan bahwa dampaknya pada otak dan tubuh bisa jadi tidak sesuai harapan.
Dr. Page merekomendasikan pendekatan yang lebih holistik: “Alih-alih bergantung pada pemanis non-kalori, cobalah untuk mengurangi konsumsi pemanis secara keseluruhan dan fokus pada pola makan alami yang minim tambahan gula.”
Dr. David Katz, spesialis dalam kedokteran pencegahan dan gaya hidup, menambahkan bahwa rehabilitasi indera perasa dapat membantu mengurangi ketergantungan pada rasa manis.
“Carilah sumber tersembunyi gula dalam makanan yang mungkin tidak Anda sadari memiliki rasa manis, seperti saus salad, pasta, roti, atau kerupuk,” katanya.
Dengan memilih produk tanpa pemanis tambahan, seseorang bisa mengurangi asupan gula harian hingga sepertiga atau bahkan separuhnya.
Sumber:
“Non-caloric sweetener effects on brain appetite regulation in individuals across varying body weights” oleh Sandhya P. Chakravartti et al., diterbitkan pada 26 Maret 2025 di Nature Metabolism . DOI: 10.1038/s42255-025-01227-8.