Flu burung bukan lagi sekadar masalah bagi peternak ayam atau konsumen telur. Virus H5N1, yang telah menyebar ke lima benua dan menginfeksi berbagai spesies, termasuk sapi perah, tikus, bahkan lalat, kini menjadi ancaman serius bagi ekonomi global.
Lonjakan harga telur hanyalah puncak gunungan masalah yang lebih besar. Setiap infeksi manusia adalah kesempatan bagi virus ini untuk bermutasi, meningkatkan risiko pandemi baru yang bisa jauh lebih parah daripada COVID-19.
Flu burung tidak hanya mengancam rantai pasokan makanan tetapi juga sistem ekonomi global yang rapuh. Lalu bagaimana kapitalisme modern, dengan industri pertanian raksasa dan infrastruktur yang mahal, mungkin tidak cukup tangguh untuk menghadapi tantangan ini.
Baca Juga: Rahasia Jantung Sehat Dimulai dari Dapur Anda
Pandemi dalam Sejarah: Pelajaran yang Belum Dipelajari
Sepanjang sejarah, pandemi selalu meninggalkan jejak yang mendalam pada masyarakat dan ekonomi. Orang-orang meninggal, tetapi modal dan infrastruktur tetap ada — sebuah pola yang tidak ditemukan dalam perang atau bencana alam.
Namun, dampaknya tidak berhenti di situ. Tekanan upah meningkat karena tenaga kerja menyusut, produksi dan konsumsi terganggu, dan kepercayaan terhadap otoritas erosi, menciptakan ruang bagi disinformasi.
Setelah pandemi berakhir, perubahan tata kelola biasanya mengikuti, seperti yang terjadi setelah COVID-19.
Pandemi flu burung berpotensi memberikan guncangan demografis, sosial, dan ekonomi yang jauh lebih besar daripada apa yang kita alami selama pandemi COVID-19.
Jika virus ini bermutasi sehingga dapat menular antarmanusia, kita mungkin menghadapi skenario di mana pertanian gagal, rantai pasokan runtuh, dan ekonomi global lumpuh.
Industri Pertanian Besar: Ancaman Utama atau Korban?
Industri pertanian besar di Amerika Serikat adalah bisnis bernilai triliunan dolar. Namun, flu burung adalah ancaman nyata bagi bisnis ini. Jutaan burung mati berarti jutaan dolar hilang.
Jika virus ini menyebar ke sapi perah, biaya ekonomi akan semakin tinggi. Sapi yang terinfeksi bisa merugikan peternak hingga $1.000 per ekor, belum lagi dampaknya pada produksi susu.
Masalahnya, jika pemerintah tidak mampu merespons dengan cepat dan efektif, apakah industri ini mampu melihat dan menyelesaikan masalahnya sendiri? Jawabannya, sayangnya, masih belum pasti.
Saat ini, respons pemerintah AS terhadap flu burung dinilai kurang memadai. Rencana senilai $1 miliar yang mencakup impor telur, peningkatan biosekuriti, dan bantuan kepada petani masih belum menyentuh peternakan susu.
Bahkan, Robert Kennedy Jr., kepala Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan (HHS) yang dikenal sebagai aktivis anti-vaksin, baru-baru ini menyarankan solusi yang sangat kontroversial: membiarkan virus menyebar dan membunuh semua burung. Ide ini tidak hanya bodoh, tetapi juga tidak praktis.
Sebagai alternatif, pemerintah berencana beralih dari metode pembantaian unggas (culling) ke vaksinasi. Namun, implementasi program vaksinasi membutuhkan waktu, sementara pekerja yang merawat kawanan yang terinfeksi menghadapi risiko infeksi yang lebih tinggi.
Bagaimana cara melindungi mereka yang bekerja langsung dengan burung dan ternak, baik pemilik kandang kecil maupun pekerja peternakan?
Dampak Ekonomi: Harga Telur Hanyalah Permulaan
Flu burung sudah mulai memberikan dampak ekonomi nyata. Di Amerika Serikat, harga telur telah melonjak ke rekor tertinggi. Ini bukan hanya masalah “hukum penawaran dan permintaan” biasa; virus ini hampir selalu membunuh setiap ayam yang terinfeksi, yang berarti lebih sedikit produksi telur.
Namun, dampaknya tidak berhenti di situ.
Jika virus ini menyebar ke sapi perah, kita mungkin menghadapi krisis susu yang serupa. Sapi perah yang terinfeksi tidak hanya mati, tetapi juga bisa menyebarkan virus melalui susu mentah atau produk olahannya.
Virus ini juga menular melalui udara, dan angin dapat membawanya sejauh beberapa mil. Bayangkan skenario di mana virus ini menyerang kawanan sapi di negara-negara penghasil susu utama seperti India, Eropa, atau Amerika Serikat.
Selain itu, ada dampak jangka panjang yang tidak boleh diabaikan. Pandemi flu burung berpotensi meninggalkan jejak permanen pada tenaga kerja, fungsi pemerintah, dan bisnis. Guncangan ini tidak hanya disebabkan oleh mikroba, tetapi juga oleh tata kelola yang buruk dan kurangnya persiapan.
Persiapan untuk Pandemi Berikutnya: Apa yang Harus Dilakukan?
Untuk menghadapi pandemi berikutnya, kita memerlukan tata kelola yang lebih baik. Sistem pemantauan penyakit menular harus dipertahankan sebagai “sistem saraf pusat” data bersama yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan nasional dan lokal.
Informasi yang tepat waktu harus dibagikan secara transparan, baik di dalam negeri maupun secara global.
Tata kelola yang efektif juga memerlukan kemitraan publik-swasta yang cepat bertindak selama pandemi. Investasi dalam pengembangan dan distribusi vaksin, serta kapasitas produksi domestik untuk pasokan medis penting, harus menjadi prioritas.
Jangan Lewatkan: Dibalik Manisnya Permen Karet Tersembunyi Ancaman Mikroplastik
Menyelamatkan Dunia dari Krisis Berikutnya
Flu burung bukanlah masalah yang akan hilang begitu saja. Virus ini adalah ancaman nyata bagi ekonomi global, sistem kesehatan, dan stabilitas sosial. Untuk menghadapinya, kita memerlukan kombinasi antara kebijakan yang tepat, investasi dalam inovasi, dan kolaborasi lintas sektor.
Pelajaran dari pandemi COVID-19 menunjukkan bahwa intervensi awal sangat penting untuk mencegah bencana ekonomi. Namun, respons terhadap flu burung saat ini masih jauh dari ideal. Pemerintah perlu bertindak lebih cepat, dan industri pertanian besar harus beradaptasi dengan realitas baru ini.
Jika kita gagal belajar dari masa lalu, maka flu burung bisa menjadi pandemi yang menghancurkan dunia — bukan hanya dalam hal kematian, tetapi juga dalam hal ekonomi dan stabilitas sosial.
Sekarang adalah waktunya untuk bertindak.