Manusia selalu memiliki keinginan untuk memahami hakikat keberadaan dirinya. Sejak zaman dahulu, manusia telah bertanya tentang asal-usulnya, tujuan hidupnya, dan hubungannya dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Kesadaran ini bukan sekadar hasil budaya atau pengalaman sosial, tetapi merupakan bagian dari fitrah manusia yang telah Allah tanamkan dalam diri setiap insan.
Dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern, para ilmuwan menemukan bahwa otak manusia memiliki bagian-bagian khusus yang berperan dalam pengalaman transendental, yaitu pengalaman yang melampaui realitas fisik dan mengarah kepada pencarian makna spiritual. Fenomena ini bukan hanya diperhatikan dalam agama, tetapi juga dikaji dalam ilmu saraf dan psikologi.
Otak dan Kesadaran: Apa Hubungannya?
Otak manusia terdiri dari miliaran neuron yang saling terhubung melalui jaringan sinapsis. Kalau diibaratkan, otak itu seperti jaringan internet yang supercanggih, di mana setiap bagian punya “tugas” masing-masing. Nah, bagian yang berhubungan dengan pengalaman spiritual dan kesadaran transendental ada beberapa, yaitu:
Lobus Parietal:
Berperan dalam kesadaran diri dan orientasi ruang. Saat seseorang tenggelam dalam doa atau dzikir, aktivitas di lobus parietal menurun, sehingga muncullah perasaan “menyatu” dengan alam semesta dan Sang Pencipta.
Lobus Frontal:
Bertanggung jawab atas pemikiran abstrak dan refleksi diri. Saat kita merenungkan ayat-ayat Allah, bagian ini bekerja lebih aktif.
Sistem Limbik:
Termasuk amigdala dan hipokampus, yang berhubungan dengan emosi dan ingatan. Makanya, pengalaman spiritual sering kali meninggalkan kesan yang mendalam.
Korteks Cingulate Anterior:
Mengatur emosi dan empati. Ini menjelaskan mengapa orang yang mendalami agama sering lebih tenang dan penuh kasih sayang.
Kedudukan Nurani dalam Otak
Dalam konsep Islam, nurani atau suara hati adalah pusat dari kesadaran moral manusia. Secara ilmiah, ini dikaitkan dengan korteks prefrontal ventromedial yang bertanggung jawab atas pengambilan keputusan berbasis moral. Studi menunjukkan bahwa kerusakan pada area ini dapat mengurangi rasa empati dan kemampuan membedakan benar dan salah. Ini sejalan dengan firman Allah:
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (QS. Asy-Syams: 7-8)
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
“Kebaikan adalah sesuatu yang membuat hatimu tenang, dan dosa adalah sesuatu yang membuat hatimu ragu-ragu dan gelisah.” (HR. Muslim)
Sains Bertemu Wahyu
Sains modern mulai memahami bahwa otak manusia memang “diprogram” untuk mencari makna hidup dan keberadaan Tuhan. Tapi jauh sebelum MRI dan EEG ditemukan, Al-Qur’an sudah menyinggung hal ini:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah.” (QS. Ar-Rum: 30)
Jadi, bukan kebetulan jika manusia selalu ingin mencari Tuhan. Ini bukan sekadar efek budaya, tetapi sudah “built-in” dalam otak kita!
Pengaruh Spiritualitas pada Otak
Penelitian menunjukkan bahwa aktivitas spiritual seperti shalat, dzikir, atau meditasi bisa memicu perubahan pada struktur dan fungsi otak. Di antaranya:
Meningkatkan Kesehatan Mental:
Orang yang rutin beribadah cenderung lebih bahagia dan stabil emosinya, karena produksi hormon serotonin dan dopamin meningkat.
Mengurangi Stres:
Doa dan ibadah menurunkan kadar kortisol, hormon stres utama dalam tubuh.
Meningkatkan Konsentrasi:
Orang yang sering beribadah cenderung punya korteks prefrontal yang lebih aktif, sehingga daya fokusnya lebih baik.
Hadits juga mendukung ini. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah, mereka membaca Kitab-Nya dan saling mempelajarinya di antara mereka, melainkan akan turun kepada mereka ketenangan, rahmat meliputi mereka, para malaikat menaungi mereka, dan Allah menyebut mereka di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya.” (HR. Muslim)
Kesimpulan
Singkatnya, otak manusia memang memiliki “fitrah spiritual” yang memungkinkan kita untuk mengenal dan mencari Tuhan. Ini bukan sekadar dogma agama, tetapi juga dibuktikan oleh sains modern. Maka, jika suatu hari Anda tiba-tiba termenung dan merasa ingin lebih dekat dengan Allah, jangan heran. Itu tandanya otak Anda bekerja dengan baik!
Maka, mari kita manfaatkan keajaiban otak transendental ini dengan sebaik-baiknya. Sebab, seperti firman Allah:
“Dan di bumi terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan juga pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz-Dzariyat: 20-21)
Wallahu a’lam bishawab.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Kementerian Agama RI.
Muslim, Imam. Shahih Muslim.
Ahmad, Imam. Musnad Ahmad.
Newberg, Andrew & D’Aquili, Eugene. Why God Won’t Go Away: Brain Science and the Biology of Belief.
Ramachandran, V.S. The Tell-Tale Brain: A Neuroscientist’s Quest for What Makes Us Human.
Beauregard, Mario & O’Leary, Denyse. The Spiritual Brain: A Neuroscientist’s Case for the Existence of the Soul.
Atran, Scott. In Gods We Trust: The Evolutionary Landscape of Religion.