Kritik terhadap Tesis “Homo Deus” dalam Perspektif Ihya Ulumuddin

oleh
oleh

Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus mengajukan gagasan bahwa manusia sedang menuju status “dewa” melalui perkembangan teknologi, kecerdasan buatan, dan bioteknologi. Ia menyoroti bagaimana manusia tidak lagi bergantung pada Tuhan, tetapi berusaha mengendalikan hidup dan takdirnya sendiri melalui sains dan algoritma.

Sementara itu, Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menegaskan bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa diperoleh dengan mendekatkan diri kepada Allah. Al-Ghazali juga mengkritik pemikiran yang terlalu mengandalkan akal dan sains tanpa landasan spiritual. Oleh karena itu, konsep Harari tentang “Homo Deus” dapat dikritisi dari perspektif Ihya Ulumuddin dalam beberapa aspek utama: ketergantungan manusia pada Tuhan, kehendak bebas dan takdir, serta makna hidup dan kebahagiaan sejati.

Keterbatasan Manusia dan Ketergantungan kepada Tuhan

Tesis Harari:

Harari berpendapat bahwa manusia semakin mengambil alih peran Tuhan dengan menciptakan teknologi yang dapat memperpanjang hidup, menyembuhkan penyakit, dan bahkan “merekayasa” manusia. Ia menyiratkan bahwa manusia bisa menjadi penguasa atas takdirnya sendiri.

Kritik Al-Ghazali:

Dalam Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali justru menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang sangat lemah dan tidak bisa lepas dari ketergantungan kepada Allah. Segala yang ada di dunia ini terjadi karena kehendak-Nya, bukan karena kemampuan manusia semata.

“Barang siapa yang mengandalkan dirinya sendiri dan lupa kepada Allah, maka ia akan tersesat dan binasa.” (Ihya Ulumuddin)

Jika manusia merasa bisa menjadi “Tuhan” melalui teknologi, maka ini hanyalah ilusi. Teknologi tetap memiliki batasan, dan manusia tetap tunduk pada hukum alam yang diciptakan Allah. Bahkan, teknologi yang canggih pun tidak bisa mencegah kematian atau mengendalikan seluruh aspek kehidupan secara mutlak.

Konsep Kehendak Bebas vs Takdir Ilahi

Tesis Harari:

Harari meragukan konsep kehendak bebas dan menyatakan bahwa semua keputusan manusia sebenarnya hanyalah hasil dari reaksi biologis dan algoritma data. Ia juga berpendapat bahwa AI dan sistem berbasis data bisa lebih memahami manusia dibandingkan manusia itu sendiri.

Kritik Al-Ghazali:

Dalam Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali menegaskan bahwa kehendak manusia memang ada, tetapi tetap dalam batasan takdir Allah. Manusia diberikan kebebasan untuk berusaha (ikhtiar), tetapi hasilnya tetap dalam kendali Allah.

“Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, baik atau buruk, adalah bagian dari rencana Ilahi yang tidak bisa ditolak oleh siapa pun.” (Ihya Ulumuddin)

Harari mengabaikan dimensi spiritual dalam kehendak manusia. Jika hanya mengandalkan algoritma dan sains untuk memahami manusia, maka aspek ruhani yang menjadi inti dari eksistensi manusia akan diabaikan. Ini adalah kelemahan mendasar dalam tesisnya.

Makna Hidup dan Kebahagiaan Sejati

Tesis Harari:

Menurut Harari, di masa depan manusia mungkin akan meninggalkan agama dan mencari makna hidup melalui sains, teknologi, dan dataisme. Ia beranggapan bahwa manusia tidak membutuhkan Tuhan untuk memahami tujuan hidupnya.

Kritik Al-Ghazali:

Dalam Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali justru menyatakan bahwa tanpa hubungan dengan Allah, manusia akan kehilangan makna hidup yang sejati. Menurutnya, kesuksesan material dan kemajuan teknologi tidak akan pernah memberikan kebahagiaan sejati, karena kebahagiaan hakiki hanya datang dari dekatnya manusia dengan Tuhan.

“Hati yang kosong dari cinta kepada Allah akan selalu merasa gelisah, meskipun memiliki segala sesuatu di dunia.” (Ihya Ulumuddin)

Jika manusia hanya mengandalkan teknologi dan AI untuk mencari kebahagiaan, maka mereka hanya akan menemukan kesenangan sementara, bukan ketenangan jiwa yang hakiki. Teknologi tidak bisa menggantikan kebutuhan spiritual manusia.

Kesimpulan

Melalui kritik ini, dapat disimpulkan bahwa tesis Harari dalam Homo Deus memiliki kelemahan mendasar jika dilihat dari perspektif Ihya Ulumuddin.

Manusia tetap terbatas dan bergantung kepada Tuhan, sehingga konsep manusia menjadi “dewa” hanyalah ilusi.

Kehendak bebas manusia tetap berada dalam takdir Allah, bukan ditentukan oleh algoritma atau dataisme.

Makna hidup dan kebahagiaan sejati hanya bisa ditemukan melalui hubungan dengan Allah, bukan melalui sains dan teknologi semata.

Maka, dari perspektif Ihya Ulumuddin, ide Harari justru berisiko membawa manusia kepada kesombongan intelektual yang bisa menjauhkan mereka dari kebahagiaan sejati. Oleh karena itu, solusi terbaik bukanlah menggantikan Tuhan dengan teknologi, tetapi menggunakan teknologi sebagai alat, sementara tujuan tetap kepada Allah.

Wallahu a’lam.

banner 600x150

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.