Kinshasa, 5 Maret 2025 – Sebuah wabah penyakit misterius kembali mengguncang Republik Demokratik Kongo (DRC), kali ini melanda Provinsi Equateur. Lebih dari 1.000 kasus telah tercatat di dua desa terpencil, Basankusu dan Bolomba, dengan puluhan kematian dilaporkan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan otoritas kesehatan setempat hingga kini belum berhasil mengidentifikasi penyebab pasti wabah yang menyebar cepat ini.
Baca Juga: Parasetamol Diduga Tingkatkan Risiko ADHD pada Anak, Studi Baru Ungkap Fakta Mengejutkan
Gejala Mematikan dan Penyebaran Cepat
Wabah ini pertama kali terdeteksi pada 21 Januari 2025 di Desa Boloko, Zona Kesehatan Bolomba, dengan 12 kasus dan 8 kematian. Kemudian, pada 9 Februari, kasus serupa muncul di Desa Bomate, Zona Kesehatan Basankusu, yang berkembang menjadi 419 kasus dan 45 kematian hingga pertengahan Februari.
Kini, laporan terbaru menunjukkan jumlah kasus melonjak di atas 1.000, dengan tambahan 141 kasus di Basankusu pada awal Maret.
Gejala yang dialami pasien meliputi demam, sakit kepala, menggigil, leher kaku, nyeri otot, batuk, muntah, dan diare. Menurut Voice of America (26 Februari 2025), 80% pasien menunjukkan gejala serupa, dan banyak yang meninggal dalam 48 jam setelah gejala muncul.
Dugaan Penyebab: Malaria atau Kombinasi Patogen?
Penyelidikan awal oleh WHO menunjukkan separuh sampel pasien positif malaria, penyakit endemik di Kongo. Namun, Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, menyatakan kemungkinan pasien mengidap lebih dari satu penyakit sekaligus.
“Kami belum bisa menyimpulkan hanya malaria. Ada dugaan kombinasi infeksi saluran pernapasan dan malnutrisi,” ujarnya, dikutip health.detik.com (11 Desember 2024).
Hipotesis lain mencakup zoonosis, setelah laporan awal menyebut kasus pertama terkait anak-anak yang memakan kelelawar di Boloko, meski belum terbukti. Tes untuk Ebola dan Marburg negatif, seperti dilaporkan CNN Indonesia (27 Februari 2025), sehingga fokus beralih ke malaria, meningitis, atau kontaminasi lingkungan.
Tantangan di Lapangan
Penyebaran wabah ini diperparah oleh kondisi geografis dan infrastruktur Kongo. Basankusu dan Bolomba, yang terpisah 186 kilometer, sulit dijangkau karena jarak 48 jam dari Kinshasa dan musim hujan yang sedang berlangsung.
“Ini ancaman kesehatan masyarakat yang signifikan,” kata juru bicara WHO, Tarik Jašarević, kepada The Guardian (Februari 2025).
Tim tanggap cepat WHO dan pemerintah Kongo telah dikerahkan sejak 14 Februari, melakukan pengujian di laboratorium Kinshasa dan memberikan perawatan simtomatik yang menunjukkan respons positif pada beberapa pasien.
Bayang-Bayang Wabah Sebelumnya
Kongo tidak asing dengan wabah misterius. Pada Oktober 2024, Provinsi Kwango dilanda penyakit yang menewaskan 143 orang, yang kemudian diidentifikasi sebagai kombinasi malaria, infeksi pernapasan, dan malnutrisi.
Saat ini, negara ini juga menghadapi epidemi mpox dengan 47.000 kasus dan 1.000 kematian.
“Konteks kesehatan di Kongo sangat kompleks,” ungkap Direktur Keadaan Darurat WHO, Mike Ryan, kepada Liputan6.com (5 Maret 2025).
Jangan Lewatkan: BPOM Cegah Peredaran 61 Jenis Obat Bahan Alam Mengandung Bahan Kimia Obat
Upaya Penanganan Berlangsung
WHO terus memantau situasi dan mempercepat analisis sampel untuk mengungkap penyebab wabah. Pemerintah Kongo, didukung tim spesialis, berupaya memutus rantai penularan di tengah keterbatasan sumber daya.
Hingga berita ini diturunkan, jumlah kematian terbaru belum dirilis secara resmi, tetapi situasi tetap kritis. (an dari berbagai sumber)